“Brrrrr”
aku basah kuyup, aduh .. bau air ini sungguh buruk, aku tak mampu menahan muntah
karenanya. Semua isi nasi basi yang kutelan, kubuang begitu saja. Aku bisa
menerka kalau bau air ini adalah bau air got atau semacamnya atau bisa saja air
seni orang sialan itu.
“Hai,
Eliza, kamu akhirnya terbangun dari tidur panjangmu, baru tamparan begitu saja,
kau sudah terkapar, payah!”, laki – laki bertumbuh besar itu kembali
mendekatiku dan mulai menggertakku dengan kicauannya. Sekali lagi, aku tak mau
mempedulikannya, terserah dia apa yang akan dilakukannya dihadapanku yang sudah
terkapar lemah karena belum pernah menelan nasi sama sekali selama dua hari
ini, jika dia memberiku nasi pasti itu adalah nasi bekas antek – ankteknya,
yang sering dia panggil dengan bajingan I dan bajingan II.
“Hei,
anak sialan, kamu belum mau menyebutkan dimana kertas lusuh itu?” Katanya. “Apa
urusanmu dengan kertas lusuh itu, toh di dalamnya juga tidak ada namamu.”
Kataku sambil menyeringai lebar. Padahal saat itu aku cukup merinding. Tamparan
keras seketika mendarat kembali di pipiku yang kurasa tulangnya sudah retak.
Aku
meraba buku lusuh dan kertas lusuh yang berada dibawah sofa, yah .. masih aman
disana, tali yang mengikat tanganku tidak terlalu kuat diikat oleh bajingan I
yang kupikir tidak lulus SD. Pasalnya, aku mengatakan kepadanya jangan mengikat
tanganku terlalu kuat karena ada penelitian yang membuktikan bahwa ketika
tangan diikat keras, 30 menit kemudian dia akat mati terkapar. Dan tentu dia
percaya begitu saja. Tolol !! aku sebenarnya bisa saja itu langsung pergi dari
tempat sialan ini, tapi, aku sama sekali belum tahu dimana orang – orang ini
menyekapku. Aku harus menghadapi resiko yang terlalu besar untuk itu dan tentu
aku tidak siap untuk itu.
“Gubrak..”
Piring besi berisi nasi dan bekas tempe mendarat di depanku dengan begitu
indahnya, yah .. hari ini makananku datang. Laki – laki bertubuh besar itu
masih memiliki perasaan untuk memperlancar pencernaanku dan kebutuhanku sebagai
makhluk hidup untuk makan. Bajingan I segera membuka kaitan tali
ditanganku dengan terbata – bata. “Ka … Kamu ha .. ha .. harus bersyukur masih
dii .. di .. dikasi makanan, huhhh …” Katanya. Aku hanya menoleh sebentar ke
wajahnya yang bisa kutaksir berumur 40 tahun dan mengangkat alisku sebelah
kemudian melahap makanan yang sebetulnya tidak layak itu, tapi sungguh cacing di
perutku tak lagi bisa kompromi. Ketika makanan itu kulahap sedemikian rupa,
samar terdengar suara yang tidak asing lagi. “Pastikan dia baik – baik saja
walaupun bagaimana aku menyayanginya.” Kata laki – laki itu. “cuiih .. dia
menyayangiku, ha? Dia hanya menyayangi limpahan emas itu.” Aku mengaum seperti
harimau dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar