Blogger Widgets

Kamis, 24 Mei 2012

Jebakan Diary (Part II)


“Brrrrr” aku basah kuyup, aduh .. bau air ini sungguh buruk, aku tak mampu menahan muntah karenanya. Semua isi nasi basi yang kutelan, kubuang begitu saja. Aku bisa menerka kalau bau air ini adalah bau air got atau semacamnya atau bisa saja air seni orang sialan itu.

“Hai, Eliza, kamu akhirnya terbangun dari tidur panjangmu, baru tamparan begitu saja, kau sudah terkapar, payah!”, laki – laki bertumbuh besar itu kembali mendekatiku dan mulai menggertakku dengan kicauannya. Sekali lagi, aku tak mau mempedulikannya, terserah dia apa yang akan dilakukannya dihadapanku yang sudah terkapar lemah karena belum pernah menelan nasi sama sekali selama dua hari ini, jika dia memberiku nasi pasti itu adalah nasi bekas antek – ankteknya, yang sering dia panggil dengan bajingan I dan bajingan II.

“Hei, anak sialan, kamu belum mau menyebutkan dimana kertas lusuh itu?” Katanya. “Apa urusanmu dengan kertas lusuh itu, toh di dalamnya juga tidak ada namamu.” Kataku sambil menyeringai lebar. Padahal saat itu aku cukup merinding. Tamparan keras seketika mendarat kembali di pipiku yang kurasa tulangnya sudah retak.


Aku meraba buku lusuh dan kertas lusuh yang berada dibawah sofa, yah .. masih aman disana, tali yang mengikat tanganku tidak terlalu kuat diikat oleh bajingan I yang kupikir tidak lulus SD. Pasalnya, aku mengatakan kepadanya jangan mengikat tanganku terlalu kuat karena ada penelitian yang membuktikan bahwa ketika tangan diikat keras, 30 menit kemudian dia akat mati terkapar. Dan tentu dia percaya begitu saja. Tolol !! aku sebenarnya bisa saja itu langsung pergi dari tempat sialan ini, tapi, aku sama sekali belum tahu dimana orang – orang ini menyekapku. Aku harus menghadapi resiko yang terlalu besar untuk itu dan tentu aku tidak siap untuk itu.

“Gubrak..” Piring besi berisi nasi dan bekas tempe mendarat di depanku dengan begitu indahnya, yah .. hari ini makananku datang. Laki – laki bertubuh besar itu masih memiliki perasaan untuk memperlancar pencernaanku dan kebutuhanku sebagai makhluk hidup  untuk makan. Bajingan I segera membuka kaitan tali ditanganku dengan terbata – bata. “Ka … Kamu ha .. ha .. harus bersyukur masih dii .. di .. dikasi makanan, huhhh …” Katanya. Aku hanya menoleh sebentar ke wajahnya yang bisa kutaksir berumur 40 tahun dan mengangkat alisku sebelah kemudian melahap makanan yang sebetulnya tidak layak itu, tapi sungguh cacing di perutku tak lagi bisa kompromi. Ketika makanan itu kulahap sedemikian rupa, samar terdengar suara yang tidak asing lagi. “Pastikan dia baik – baik saja walaupun bagaimana aku menyayanginya.” Kata laki – laki itu. “cuiih .. dia menyayangiku, ha? Dia hanya menyayangi limpahan emas itu.” Aku mengaum seperti harimau dalam hati.

0 komentar:

Posting Komentar