PAHLAWANKU PASTI PULANG
AKU Aisyah. Malam ini seperti biasa, selepas salat isya aku selalu menuju teras rumah. Menghabiskan malam di sana, sudah tradisiku. Sama sekali tak pernah peduli dengan terpaan angin yang kadang-kadang langsung membuatku bersin tanpa permisi dan tanpa henti.
Aku suka tempat ini. Aku suka sepi. Aku suka
ketika hanya aku sendiri dan tak ada yang menggangguku. Ketika aku sudah
keadaan nyaman di tempatku ini maka tak ada seorang pun yang berani mengganggu
kediamanku di sini.
Ah, tidak. Ada Bapak yang selalu mengingatkanku
untuk masuk jika malam sudah larut. Namun, sekarang hal itu sudah tak berlaku
lagi.
Butiran hangat seketika mengalir di pipiku. Aku
rindu sosok itu. Ini sudah bulan kedua Bapak tak kunjung pulang. Bapakku bukan
seperti Bang Toyib yang tak pulang-pulang. Tapi sekarang aku tak kunjung pula
menemukan alasan mengapa Bapak tak juga pulang. Akan tetapi aku tahu, sekarang
Bapak masih berjuang untuk pulang, pulang ke hati Aisyah.
"Ah, sudah larut, ini sudah jam dua belas
malam, besok aku sekolah,” bisikku dalam hati. Segera kulangkahkan kaki menuju
kamarku yang sudah seminggu ini tak pernah kubersihkan sama sekali. Baju
bersih, baju kotor seperti bercampur jadi satu dan susah kubedakan lagi.
Begitupun dengan boneka, tas, sepatu berserakan di mana-mana. Namun, aku tak
peduli jika kantuk luar biasa melanda seperti ini. Aku tak pernah pilih-pilih
di mana mau tidur. Jika memang kepalaku sudah mendarat dengan baik di bantal
yang empuk, maka tidak ada alasan aku segera terlelap.
Yaa, pagi ini, aku harus menuju sekolah lebih
pagi dari biasanya. Semalam aku lupa mengerjakan PR Kimia hari ini. Aku
bergegas menuju sekolah, berjalan dengan langkah yang dipercepat. Aku sudah
sampai di pagar sekolah.
Ah, pasti masih sepi. Aku harus cari contekan ke
mana? Tuturku dalam hati dengan nada penuh harap agar Masyitha, teman
sebangkuku sudah sampai di sekolah dengan PR Kimia lengkap dan rapi dan siap
untuk disalin.
Wah, dan ternyata GREAT! Tuhan memang Maha
Segalanya. Masyitha sudah datang dan duduk dengan kalem di bangku. Segera
kusambangi dia.
"Tha, Kimiamu udah selesai dong, yah?"
Kataku masih dengan napas terengah-engah. "Iya, astagaaa, Aisyah toh,
punyamu pasti belum, ahhh. Kebiasaan kamu ini, cepetan dikerjainnya,"
katanya dengan alis yang naik karena melihat kelakuanku yang lagi-lagi membuat
darahnya mendidih.
"Hahaha, iyyaa, makanya pinjam PR-mu, dong,
nanti aku balap deh nyalinnya,” kataku lagi dengan sigap dan nada meyakinkan.
Masyitha segera membuka tasnya dan mengeluarkan buku Kimianya. Tanpa pikir
panjang, aku segera menyalin rentetan rumus Kimia itu. Dan, lagi-lagi GREAT,
bel masuk yang berbunyi pas dengan selesainya salinan PR yang dibuat dengan
kesungguhan ini.
Yaah.., kehidupan sekolah selesai dan tamat
untuk edisi hari ini. Segera kupercepat langkahku menuju angkutan umum
yang sudah penuh sesak dan bau aneh-aneh. Hari ini lagi-lagi aku harus menuju
suatu tempat yang sungguh aku amat sangat tak menyukainya, gedung yang
segalanya berwarna putih, bau karbol dan selimut loreng-lorengnya.
"Eh, Aisyah sudah datang, kamu sudah makan
siang, Nak?” kata seorang wanita paruh baya yang selalu kupanggil dengan
sebutan "Ibu."
“Ah.., iyaa, Bu, tadi Aisyah makan di kantin
sama Masyitha,” tukasku dengan mengarang cerita.
"Oh, iya, kalau begitu kamu gantikan ibu
jaga Bapak, yah. Ibu mau ke luar dulu,” kata wanita berkerudung merah itu.
Wanita perkasa yang sungguh tak mampu kuinterpretasikan dengan kata-kata akan
ketabahannya sebagai seorang istri sekaligus ibu bagi anaknya. Sejak Bapak
terbaring lemah dan tak pernah pulang, dia yang menjadi tulang punggung
keluargaku.
Mataku terarah pada sosok yang terbaring lemah
di hadapanku.
"Aku tahu, sekarang Bapak sedang berjuang
untuk pulang ke rumah.” Kataku dalam hati diiringi tangis yang tak mampu
terbendung lagi. Ibu ternyata sudah sedari tadi masuk ke kamar rawat inap dan
ikut terisak di belakangku.
Aku teringat kata-kata Bapak beberapa bulan yang
lalu saat menemaniku duduk merenungi di teras rumah. “Aisyah, kata orang-orang,
muka kita mirip, yah, coba deh kalau Aisyah liat di cermin pasti yang kelihatan
itu mukanya Bapak.” Tuturnya diiringi senyumnya yang amat meneduhkan.
Sejak saat itu, aku mulai sering bersua dengan
cermin, walaupun sebenarnya aku tak suka dengan cermin, aku tak suka berdandan
dan sejenisnya. Tapi ketika aku dan cermin bertemu, dan aku mengulum senyum
depan cermin, aku bisa melihat sosok Bapak yang tersenyum juga di sana.
Sungguh beberapa bulan ini, aku merindukan sosok
laki-laki yang mampu membuatku menjadi seorang putri raja. Aku rindu segala hal
tentang dia. Tapi, aku tetap percaya beberapa saat kemudian. Aku akan bertemu
dengan sosok itu dengan senyum asli yang mengembang. Bukan senyum yang
dibuat-buat di depan cermin.
Aku percaya itu. Bintang gemintang di angkasa
sana masih setia menunjukkan kerlipannya. Begitupun dengan Sang Rembulan yang
tadinya berduka suatu saat akan tersenyum lagi.
Cepat sembuh, Bapak....
Cepat sembuh pahlawanku....
Ini
adalah 'Tulisan Pertama' saya yang dimuat di Koran Harian Fajar :)
Rasanya sungguh tak terkira .. Semoga bisa menginspirasi pembaca blogku
sekalian, sekarang saya masih terus menulis, semoga tulisan selanjutnya bisa
dimuat lagi :)
http://www.fajar.co.id/read-20121110183538-pahlawanku-pasti-pulang'#.UJ8VLF8rACI.facebook
luar biasa Inay, mauka juga bisa menulis begini. betul-betul cerita yang sangat inspiratif :')
BalasHapusMakasiiih Srii :) Mari Menulis :)
BalasHapus